Saat ini, bisa dikatakan pasar otomotif tahun 2020, secara umum, mengalami penurunan yang cukup dalam, tidak terkecuali di Indonesia, sebagai dampak dari pandemi virus corona yang belum juga mereda. Jika tahun-tahun sebelumnya angka wholesale-nya saja mencapai 1 juta unit, pada tahun ini saja, berdasarkan data Gaikindo hingga November kemarin, baru mencapai 474.910 unit, atau hampir setengah dari angka biasanya.
Meski begitu, peringkat 10 besar brand mobil terlaris di Indonesia tetap tidak berubah; lima besarnya tetap dikuasai oleh brand Jepang seperti Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki, Mitsubishi Motors, diikuti kendaraan komersial yang juga dari Jepang (Mitsubishi Fuso, Isuzu, dan Hino), satu brand Jepang yang mencoba bangkit dari "keterpurukan" yaitu Nissan, dan satu brand China yang sedang naik daun: Wuling. Sedangkan brand-brand lain berada di luar 10 besar, termasuk di antaranya brand dari Korea Selatan.
Sebenarnya, dua brand mobil andalan dari Korea Selatan, yaitu Hyundai dan Kia yang tergolong satu grup secara global, sudah lama berjualan di Indonesia sejak akhir 1990-an. Tentunya, Anda masih ingat dengan cikal bakal dua brand ini melalui "mobil nasional" Bimantara dan Timor yang didirikan oleh anak Presiden Soeharto, Bambang Trhatmodjo dan Hutomo Mandala Putra. Terlepas dari segala kontroversi yang meliputinya, setidaknya dua "mobil nasional" ini sempat mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia, terutama karena memiliki harga yang jauh lebih murah dari mobil brand asing.
Begitu rezim Orde Baru tumbang, dua "mobil nasional" ini kemudian seketika menghilang, lalu kembali nama asalnya: Hyundai dan Kia. Memasuki awal 2000-an, dua brand Korea menggebrak dengan beberapa produknya, misalnya Hyundai dengan Atoz, Trajet, Avega, Tucson, lalu Kia dengan Carnival (belakangan berganti nama menjadi Sedona dan kemudian Grand Sedona), Picanto, Carens, dan Sportage. Beberapa produk ini bisa dibilang cukup banyak populasinya di jalanan, dan memiliki komunitas yang cukup loyal.
Namun, apa yang dilakukan oleh Hyundai dan Kia nampaknya belum cukup untuk merebut hati masyarakat Indonesia yang terlanjur "cinta" dengan brand Jepang. Bukan hanya soal durabilitas produk dan jumlah dealer atau bengkel terbatas, selama ini brand mobil Korea kurang serius dalam pengembangan manufaktur otomotif di Indonesia. Memang, Hyundai memiliki pabrik di Pondok Ungu, Bekasi, yang produksinya mampu menembus negara tetangga, namun fasilitasnya hanya perakitan dan terpenting, masih berstatus Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) alias tidak ada intervensi langsung dari prinsipal Korea untuk mengurusi produksi mobil tersebut.
Tetapi, pada tahun 2020 ini, nampaknya, baik Hyundai dan Kia, mulai mencoba bangkit dari "keterpurukan", terutama karena keduanya sama-sama bernaung di bawah Agen Pemegang Merek (APM) yang baru: Hyundai kini dipegang oleh PT Hyundai Motors Indonesia (HMID) yang dimiliki langsung oleh prinsipal Hyundai Motor Company (HMC), sedangkan Kia, sejak akhir 2019 lalu, bergabung dengan grup Indomobil yang terkenal dengan brand Suzuki, Nissan, Hino, Volkswagen, dan Audi, melalui PT Kreta Indo Artha. Bahkan, Hyundai menggebrak jauh lebih serius dibandingkan saudaranya, dengan investasi puluhan triliun rupiah untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi Asia Tenggara.
Ya, tidak salah lagi, setelah tertinggal dengan beberapa brand Jepang, bahkan brand China yang umurnya belum mencapai lima tahun, Hyundai memutuskan untuk mendirikan pabrik berstatus full-manufacturing pertama di Asia Tenggara di Indonesia, tepatnya di kawasan industri GIIC, Delta Mas, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, kebetulan sudah ada Suzuki, Wuling, dan Mitsubishi yang sudah mendirikan pabrik di sana. Dengan total investasi sebesar USD 1,55 miliar atau setara Rp 21 triliun, pabrik ini direncanakan akan memproduksi compact SUV, compact sedan, compact MPV, dan yang terpenting: mobil listrik murni.
Pabrik ini nantinya akan dioperasikan secara terpisah oleh PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia (HMMI) dan direncanakan akan memulai kegiatan produksi pada semester kedua 2021. Hasil produksinya tidak hanya untuk pasar domestik, namun juga diekspor ke negara-negara lain khususnya Asia Tenggara. Kapasitas produksi yang dihasilkan dari pabrik ini mencapai 150 ribu unit, dan bisa dimaksimalkan, jika permintaan meningkat, hingga 250 ribu unit. Suatu hal yang luar biasa, mengingat selama ini, penjualan Hyundai di Indonesia tidaklah terlalu bagus jika dibandingkan dengan Vietnam atau Filipina sekaligus.
Namun, target ambisius ini tidak akan tercapai tanpa revitalisasi sektor penjualan di pasar domestik alias Indonesia tentunya. Karena itu, pada tahun ini, prinsipal Hyundai dari Korea mendirikan HMID sebagai APM baru Hyundai menggantikan PT Hyundai Mobil Indonesia (HMI) yang dikendalikan oleh pemilik Bimantara sebelumnya, dan menjadikan Indonesia sebagai target penetrasi penjualan yang utama dalam Strategy 2025 yang diumumkan pada akhir 2019 lalu. HMI kemudian "turun kelas" menjadi main dealer Hyundai di Indonesia, setara dengan perusahaan lain seperti Sun Motor, Arista, Maju Motor, dan lainnya.
Bila di era HMI, mobil-mobil Hyundai yang dijual di Indonesia cenderung "membosankan" dan fitur-fiturnya cukup banyak dipangkas dibanding versi luar negeri, maka pada 2020 ini saja, HMID menggebrak dengan dua mobil listrik murni berharga "terjangkau": Ioniq Electric dan Kona Electric, serta satu SUV besar nan mewah bernama Palisade, semuanya diimpor langsung dari Korea. Bahkan, promosinya juga cukup agresif, terutama adanya iklan televisi atau YouTube yang dibuat khusus pasar Indonesia serta digarap dengan sangat serius, hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Innocean, agensi periklanan milik Hyundai, yang sudah membuka kantornya di sini.
Terkait mobil listrik, yang menjadi alasan utama Hyundai berinvestasi di Indonesia mengingat keseriusan pemerintah mengembangkan industri kendaraan listrik dalam negeri, salah satu poin yang jadi keunggulan utama mobil listrik Hyundai dibandingkan dengan mobil sejenis adalah harganya sangat terjangkau untuk ukuran saat ini, yaitu di kisaran 600-700 jutaan rupiah. Tidak heran jika penjualannya tergolong tinggi buat mobil listrik yang infrastruktur charging station-nya belum merata, contohnya, hingga November 2020, wholesale Ioniq Electric mencapai 71 unit, dan Kona Electric sebanyak 38 unit.
Keunggulan ini juga dijadikan Hyundai sebagai senjata untuk meningkatkan penetrasi dan edukasi mobil listrik di Indonesia. Belakangan ini, kita sering mendengar berita mobil listrik Hyundai, khususnya Ioniq Electric, menjadi mobil dinas bagi para pejabat pemerintahan, seperti Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, beserta jajarannya, dan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan wakil gubernurnya, Uu Ruzhanul Ulum. Bukan hanya para pejabat, beberapa figur publik juga tertarik membeli mobil listrik dari Hyundai, seperti artis Dian Sastrowardoyo dan pembalap sekaligus influencer otomotif Fitra Eri, bisa dikatakan menjadi "promosi gratis" mempopulerkan mobil listrik untuk khalayak luas.
Berbeda dengan Hyundai, gebrakan Kia Motors di Indonesia khususnya tahun 2020 memang tidak sespektakuler kakaknya, terlebih APM Kia saat ini, PT Kreta Indo Artha, mayoritas dimiliki oleh grup Indomobil dan sama sekali tidak ada saham satu persen pun dari pihak prinspal Korea. Sehingga peran Kia di Indonesia hanya untuk menjual produk-produknya, tidak termasuk pembangunan pabrik seperti yang dilakukan Hyundai. Meski begitu, brand ini mulai menggebrak pasar otomotif Tanah Air dengan dua SUV yang berbeda ukuran namun sama-sama diimpor dari India, yaitu Seltos dan Sonet. Kebetulan, di India, dua SUV ini masuk dalam jajaran mobil terlaris meski umurnya sangat muda dibandingkan Hyundai sekalipun.
Seltos, yang meluncur ke pasar Indonesia pada Januari 2020 lalu, memiliki keunggulan yang jarang dimiliki kompetitor, yaitu mesin turbo berkapasitas 1.400 cc dipadukan transmisi kopling ganda atau dual clutch transmission (DCT), jika melihat mesinnya saja bisa dibilang mobil ini sebagai "pengganti" dari Chevrolet Trax yang juga bermesin 1.400 cc turbo tetapi sudah tidak dijual lagi seiring APM-nya tutup awal tahun ini. Sedangkan Sonet, dianggap membuka kelas baru yang disebut mini SUV karena dimensinya tergolong kecil; panjangnya hanya sekitar 3,9 - 4 meter, ditambah dengan berbagai gimmick yang jarang ditemukan di mobil seharga di bawah 300 jutaan rupiah, seperti sunroof, wireless charging, ventilated seat, speaker Bose, 6 airbag, dan lainnya. Menariknya, Indonesia didaulat menjadi negara pertama di luar India yang menjual Sonet ke pasaran.
Apakah kehadiran mobil-mobil baru dari Hyundai dan Kia pada tahun ini mampu menggebrak dari sisi penjualan? Well, data menunjukkan penjualan dari sisi wholesale kedua brand ini tetap tidak bisa bergerak dari posisi "menengah ke bawah", dengan rata-rata per bulan mencapai puluhan unit atau dua digit saja. Hyundai, saat ini memiliki dua data berbeda yang berasal dari PT Hyundai Indonesia Motor (HIM) dan HMID, masing-masing mencatatkan wholesale hingga November 2020 sebesar 474 unit dan 161 unit, namun dalam tiga bulan terakhir, wholesale per bulan dari HMID mencatatkan angka lebih banyak dari HIM, contohnya Oktober lalu, wholesale HMID sebesar 80 unit sedangkan HIM hanya 24 unit. Sedangkan Kia, angka wholesale sampai November masih lebih baik dari gabungan HIM dan HMID, yaitu 697 unit berbanding 635 unit.
Meski begitu, mereka tetap terus memperkuat penetrasi ke pasar Indonesia, salah satunya dengan meningkatkan jumlah dealernya di Tanah Air. Melalui HMID, Hyundai yang sudah bekerjasama dengan beberapa main dealer baru, berencana menambah jumlah dealer dengan target hingga 100 dealer pada 2021 mendatang, dikabarkan sebagian dari dealer baru Hyundai merupakan bekas dealer brand lama khususnya yang sudah tidak dijual lagi disini, sedangkan Kia membuka lima dealer baru pada 2020 yang sebagiannya juga merupakan bekas dealer mobil Nissan, khususnya yang sama-sama dimiliki grup Indomobil.
Pada akhirnya, brand mobil Korea seperti Hyundai dan Kia masih membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa bersaing dengan brand Jepang yang sudah mencengkram pasar otomotif Indonesia sejak 1970-an. Namun setidaknya, mereka sudah jauh lebih serius dalam memasarkan produk-produknya di Tanah Air, dengan menawarkan fitur atau gimmick yang jarang ditemukan di mobil-mobil mainstream Jepang, sampai menghadirkan mobil listrik murni dengan harga "terjangkau", sesuatu yang belum dilakukan oleh kebanyakan APM di Indonesia yang harga mobilnya mencapai 1 miliar rupiah ke atas. Apalagi, khusus Hyundai, sudah menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar utama di Asia Tenggara, selain dibangun pabrik besar di Cikarang, kantor regional Asia Pasifik juga dipindahkan ke negara ini. Ini menunjukkan bahwa brand Korea sudah tidak main-main lagi dalam persaingan industri otomotif nasional, khususnya pada 2020 dan tahun seterusnya.
Berbicara mengenai mobil baru Hyundai dan Kia yang akan meluncur pada 2021 mendatang, kemungkinan besar akan terfokus pada pasar SUV yang secara global sedang berkembang dengan pesat. Hyundai berencana akan menghadirkan versi facelift dari Santa Fe pada awal 2021, dan saudara Kia Seltos, Creta generasi terbaru pada semester kedua 2021. Mobil yang disebut terakhir ini bisa dikatakan sangat menarik, karena dikabarkan akan diproduksi di pabrik HMMI Cikarang dengan menggunakan kode proyek SU2id, artinya kode khusus Creta (SU2) yang dibuat di Indonesia (id), bahkan varian 7-seater dirumorkan juga akan dipasarkan di Tanah Air. Sedangkan Kia dikabarkan akan menghadirkan Sorento generasi terbaru serta Seltos varian mesin diesel berkapasitas 1.500 cc, yang disebut terakhir akan muncul di awal 2021.
Jaminan Kualitas Mobil
Garansi Satu Tahun
Jaminan 5 Hari Uang Kembali
Harga Pasti, Tidak Ada Biaya Tersembunyi
2021 Suzuki ERTIGA GL 1.5
5.727 km
1,5 tahun
Jakarta
2019 Toyota CALYA G 1.2
16.171 km
4 tahun
Jawa Barat
2020 Honda BRIO RS 1.2
18.587 km
3 tahun
Jakarta
2018 Suzuki ERTIGA GX 1.4
17.724 km
5,5 tahun
Jakarta
2019 Toyota CALYA G 1.2
12.488 km
3,5 tahun
Jakarta