Opsen Pajak Kendaraan Bermotor Untungkan Pemerintah Kabupaten dan Kota, Tapi Bagaimana dengan Pabrikan
Herdi · 6 Jan, 2025 19:02
0
0
Pemerintah menerapkan kebijakan baru terkait pungutan pajak tambahan yaitu adanya opsen pajak kendaraan bermotor mulai 5 Januari 2025.
Kebijakan ini sudah tercatat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Ya, Opsen Pajak ini dikenakan untuk kabupaten atau kota, dimana menurut pasal 83 di UU yang sama, Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Biaya Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) sudah ditetapkan dengan masing-masing sebesar 66 persen.
Dengan adanya penambahan PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) ini, maka pemerintah dah daerah kabupaten atau kota akan langsung mendapatkan bagian, karena yang sebelumnya pajak akan diambil oleh pemerintah provinsi.
Pada dasarnya, Opsen pajak daerah menggantikan mekanisme bagi hasil pajak provinsi (PKB dan BBNKB) kepada kabupaten atau kota. Perlu dicatat, jika UU No 1 Tahun 2022 tentang HKPD ini sudah ditetapkan sejak 2022 lalu, dan mulai diterapkan tiga tahun kemudian, yaitu 5 Januari 2025.
Dengan adanya Opsen Pajak, maka ada beberapa tujuan dari penerapan kebijakan ini seperti:
Wajib pajak yang melakukan pembayaran pajak PKB dan BBNKB, seketika dapat diterima secara langsung oleh pemerintah Kabupaten atau Kota. Alhasil, dengan adanya opsen pajak akan lebih cepat anggaran yang diterima dan digunakan pemerintah kabupaten atau kota.
Adanya opsen pajak, selain penerimaan pajak untuk kabupaten atau kota akan lebih cepat, diharapkan dapat memperbaiki postur APBD kabupaten/kota dimana selama ini diterima sebagai pendapatan transfer (bagi hasil pajak provinsi) dan akan menjadi Pendapatan Asli Daerah.
Dengan adanya opsen PKB dan opsen BBNKB diharapkan dapat memperkuat sumber penerimaan bagi Pemerintah Kabupaten atau Kota.
Kebijakan opsen pajak daerah dapat memperbaiki postur Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) kabupaten atau kota dan penurunan belanja mandatory bagi provinsi. Kebijakan ini bisa menjadi penerimaan pajak daerah, dan secara netto atau tidak terdapat kewajiban membagi hasilkan kembali ke kabupaten/kota sebagai bagian dari belanja mandatory.
Selain itu, dengan adanya opsen pajak, maka dipercaya mampu meningkatkan sinergi pemungutan dan pengawasan, termasuk meningkatkan peran pemerintah daerah kabupaten atau kota.
Dalam model PDRD, ada beberapa manfaat opsen pajak diantaranya:
Pemerintah Daerah penerima opsen menerima bagiannya sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing.
Percepatan penerimaan pajak daerah sebagai sumber pendanaan pembangunan daerah dan pelayanan publik.
Pemerintah Daerah penerima opsen memiliki sense of belonging dalam pemungutan pajak daerah melalui sinergi dengan Pemerintah Daerah pemungut pajak induk sehingga dalam jangka panjang diharapkan tercapai kenaikan penerimaan pajak melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
Mendorong pelayanan yang lebih besar bagi wajib pajak.
Jakarta Tidak Kena Opsen Pajak
Seperti disebutkan di atas, jika opsen pajak ini sudah diatur dalam UU No 1 Tahun 2022, tentang HKPD, dimana pemerintah kabupaten dan kota akan terkena imbasnya secara langsung. Dengan opsen pajak, daerah akan memiliki peran penting karena akan mendapatkan sumber penerimaan daerah yang bisa digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah.
Kebijakan terkait pungutan opsen yang sejatinya menggantikan mekanisme bagi hasil pajak provinsi (PKB dan BBNKB) kepada kabupaten atau kota. Hanya saja, untuk wilayah DKI Jakarta, ternyata tidak mendapatkan opsen pajak. Hal ini juga diakui oleh Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta, Lusiana Herawati.
"DKI Jakarta merupakan daerah otonom pada tingkat provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten atau kota otonom, untuk itu di Provinsi DKI Jakarta tidak memungut atas opsen PKB, Opsen BBNKB dan Opsen MBLB," jelas Herawati.
Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 10 ayat 2 mengatur bahwa Tarif PKB Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
a. Untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama paling tinggi sebesar 2%.
b. Untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 10% .
Adapun berdasarkan Pasal 15 ayat UU yang sama, disebutkan bahwa Khusus untuk daerah yang setingkat dengan daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten atau kota otonom, tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
Simulasi Opsen PKB dan Opsen BBNKB
Nah, jika Anda bingung seberapa besar biaya yang akan dikenakan karena adanya opsen pajak, maka berikut ini simulasi penghitungannya.
Berikut ini contoh kasus opsen pajak, sebutlah Fajar yang jadi seorang wajib pajak di salah satu kota A di sebuah provinsi C diketahui membeli mobil dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) sebesar Rp300.000.000 dan bobot 1 (berdasarkan permendagri tentang NJKB).
Kebetulan, dalam tarif PKB dan BBNKB di Peraturan daerah provinsi tersebut masing-masing besarannya hanya 1% dan 8%.
Menghitung opsen Pajak PKB terutang Provinsi C = Tarif PKB x DPP PKB
Total BBNKB + Opsen BBNKB yang dibayar wajib pajak Rp39.840.000
Kontroversi Opsen Pajak Diprediksi Terjadi Efek Domino
Meski opsen pajak diharapkan mampu memberikan masukan terhadap daerah, namun hal tersebut rupanya ada efek negatif, khususnya yang dirasakan pabrikan otomotif.
Bahkan dalam beberapa kesempatan, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Kukuh Kumara memprediksi jika opsen pajak bisa berpengaruh terhadap penurunan penjualan mobil baru. Terlebih lagi di tahun 2025 ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.
"Bisa jadi kita akan sama dengan saat pandemi, yaitu sekitar 500 ribu (prediksi penjualan mobil di tahun 2025)," ujar Kukuh beberapa waktu lalu.
Dengan adanya pajak yang dibebankan kepada masyarakat, tentunya sektor otomotif akan terkesan imbasnya secara langsung. Karena harga mobil akan terasa lebih mahal.
Bahkan efek mengerikan jika ini dibiarkan, membuat minat konsumen untuk membeli mobil baru berkurang, sehingga proses produksi mobil menurun, dan membuat adanya pengurangan tenaga kerja.
Efek domino juga diprediksi Pemerhati Transportasi dan Transportasi, Budiyanto, yang menurutnya akan beresiko langsung terhadap beberapa aspek yang bersentuhan dengan kehidupan masyarakat.
"Penalaran gampangnya ada tambahan pungutan yang akan dibebankan kepada masyarakat terutama pemilik kendaraan bermotor berkaitan dengan PKB dan BBNKB. Secara hukum ekonomi, tambahan pungutan pajak ini akan berdampak pada penjualan kendaraan bermotor, harga BBM dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok terutama sembako, serta rentan akan berimbas kepada inflasi," jelasnya.
Budiyanto menyatakan, saat ini ekonomi nasional sedang tidak dalam kondisi baik, dan daya beli masyarakat relatif menurun. Alhasil, lanjut dia, adanya opsen pajak akan menambah beban hidup masyarakat.
Maka dari itu, Budiyanto menugurkan, opsen pajak untuk PKB dan BBNKB sebaiknya ditunda agar lebih bijak. Sebab, dalam keadaan terpaksa pemerintah bisa saja membatalkan kebijakan tersebut dengan pertimbangan rasional dan tetap mengacu pada pertimngan hukum yang memadai.
"Bila dipaksakan akan tetap diberlakukan, dikhawatirkan akan menimbulkan efek domino yang dapat menyentuh atau bersinggungan dengan kebutuhan mendasar bagi masyarakat. Keputusan Pemerintah yang bijak sebaiknya ditunda sementara, sampai ada indikator ekonomi kita dalam kondisi baik dan daya beli masyarakat stabil," tutupnya.
Mengawali karir sebagai jurnalis sejak tahun 2011 di salah satu media massa Nasional Tanah Air. Memiliki ketertarikan untuk membahas bidang otomotif, mulai dari sepeda motor, mobil, hingga bus dan truk.