Zaman sekarang, mungkin hanya segelintir orang yang mengerti soal industri karoseri untuk mobil penumpang. Padahal di era 80-90an industri karoseri untuk mobil penumpang jadi hal yang lazim saat kita beli kendaraan berupa minibus. Dulu, kita bisa memesan desain yang berbeda-beda kalau misalnya membeli Suzuki Carry atau Daihatsu Zebra.
Mengapa demikian? Dulu antara tahun 1973 sampai dengan 1996, ATPM yang memasarkan kendaraan dengan sasis ladder frame dilarang membuat bodi minibus sendiri oleh dirjen industri dan logam dasar. Jadi, karoseri ini sifatnya seperti outsource untuk membangun body kendaraan.
Ini dilakukan agar membuka peluang usaha bagi industri otomotif lokal yang belum mampu untuk membuat mobil sendiri. Ada simbiosis antara pabrikan dan karoseri dalam memasarkan kendaraan dan alih teknologi rancang bangun kendaraan. ATPM hanya boleh memasarkan mobil bak terbuka serta pickup tanpa bak.
Lantas, seperti apa bentuk industri karoseri untuk mobil penumpang seperti Daihatsu Zebra atau Suzuki Carry? Berikut ini penjelasannya.
Bangun Body Mobil Seperti Daihatsu Zebra, ATPM Kerja Sama dengan Karoseri Lokal
Karoseri berasal dari bahasa Belanda Carroserie yang berarti rumah-rumah atau bodi kendaraan. Nah, kata tersebut diserap dalam bahasa Indonesia yang bermakna sebagai industri yang membangun body kendaraan. Kebijakan pemerintah saat itu membuat kita harus inden lebih lama kalau unitnya tidak ready stock.
Dengan kata lain, saat kita membeli mobil minibus, harus menunggu lagi inden bodi minibusnya. Hal ini lantas mendorong beberapa ATPM kemudian bekerja sama dengan perusahaan karoseri lokal seperti Toyota dengan Nasmoco dan Superior Coach, Daihatsu dengan Astrea Bodytech, Suzuki dengan Adiputro dan Alexander serta Mitsubishi dengan New Armada dan Starion.
Selain minibus jadi, double cabin nasibnya juga sama dengan minibus yang tidak diperbolehkan dibuat oleh pabrikan karena menganut sasis ladder frame. Hal inilah yang dulu membuat mobil double cabin seperti Toyota Hilux jadi barang asing.
Tapi ada beberapa ATPM yang mendapat perlakuan khusus seperti misalnya Garuda Mataram yang menjual VW Transporter dan Kombi serta National Motor yang menjual Mazda E2000. Ini karena dua mobil tadi memakai jenis sasis monokok sehingga ATPM diperbolehkan merakit versi minibusnya.
Pakai Karoseri Lokal, Desain Minibus Seperti Suzuki Carry dan Daihatsu Zebra Banyak Versinya
Pada artikel sebelumnya sempat dibahas soal Toyota Kijang versi karoseri Astra (jaringan anak perusahaan dari ATPM) dengan versi karoseri luar. Bisa dibayangkan kalau tiap karoseri punya rancangan desainnya sendiri.
Ada yang membuat desain sesuai rekomendasi pabrikan seperti produk di negara asalnya, tapi ada yang custom bahkan sampai menghilangkan identitas aslinya. Biasanya, untuk karoseri yang mempertahankan konsep aslinya merupakan karoseri anak perusahaan dari pihak ATPM.
Misalnya saja Toyota Kijang rakitan Astra, atau Daihatsu Zebra buatan Astrea (Astra). Body Zebra dibuat menggunakan teknik full pressed body atau pembuatan panel bodi menggunakan mesin press berkekuatan sampai 1500 ton.
Karoseri Astrea ini mempertahankan bentuknya pada bagian bodi belakang Daihatsu Zebra seperti halnya Hijet yang hadir di Jepang dan Eropa, dengan nama desain lokalnya yaitu Bodytech.
Sekitar tahun 1993, muncul varian pintu geser atau yang biasa disebut sliding door dari Daihatsu Zebra bikinan karoseri Astrea. Konsepnya cukup modern dan rupanya menjadi inspirasi pihak Daihatsu saat merancang Espass di tahun 1995.
Pada tahun 1996, aturan ini kemudian dicabut oleh pemerintah. Penyebabnya karena protes dari ATPM karena produk karoseri ini tidak bisa memenuhi standar ekspor kendaraan. Beberapa karoseri kecil kemudian tutup.
Karoseri besar seperti Superior Coach yang jaya ketika menjadi karoseri "resmi" rekanan Toyota di masa Kijang Super akhirnya dijual ke grup Mayasari. Karoseri ini lantas menutup bisnisnya di Indonesia dan kembali ke Amerika.
Kesimpulan
Adanya peraturan mengenai kewajiban body minibus dibuat oleh karoseri pada dekade 1980-1990an bertujuan positif untuk memajukan industri otomotif lokal. Hanya saja, tidak ada standar baku perihal material body dan kekuatan rangka kendaraan membuat kualitas karoseri tidak merata.
Hal inilah yang membuat pabrikan mendorong supaya kebijakan untuk body builder pada minibus untuk kendaraan penumpang dihentikan. Apabila proses membangun body dilakukan langsung oleh pabrikan, maka pihak prinsipal bisa menjaga quality control sesuai standar.
Kebijakan untuk merakit produk di Indonesia pun lebih rasional untuk ditempuh. Hal ini juga tak menutup kemungkinan agen pemegang merek bisa melakukan ekspor dengan kualitas body builder kelas internasional.