Simak Plus Minus Berbagai Jenis Transmisi Matic di Mobil, Lebih Menyenangkan atau Bikin Repot?
Karim · 15 Okt, 2021 19:00
0
0
Transmisi otomatis kini jelas tidak lagi menjadi barang yang begitu mewah dan eksklusif. Memang lazimnya dibanderol lebih tinggi ketimbang model manual. Namun setidaknya, pabrikan sudah bisa menghadirkan keringanan berkendara dua pedal bahkan di kelas roda empat terendah sekalipun. Lihat saja jajaran LCGC.
Meningkatkan kepraktisan untuk berkendara sudah jelas. Tidak perlu oper gigi atau injak kopling. Belum kalau ditambah fitur pendukung seperti Hill-Start Assist atau cruise control yang membuat perjalanan lebih tidak merepotkan. Pun teknologinya tidak bisa dipandang sebelah mata. Seiring pesatnya perkembangan teknologi, keandalan dan reliabilitas transmisi kian terjaga.
Namun di samping itu semua, pilihan dari transmisi matic sendiri semakin variatif. Dari satu mobil ke mobil lain bisa jadi gendong sistem berbeda. Menambah bahan pertimbangan lain kala sedang membanding-bandingkan model. Ada jenis apa saja? Seperti apa karakter serta kelebihan dan kekurangan masing-masing? Mari simak dulu penjelasan berikut ini.
Teknologi torque converter merupakan sistem paling umum di pasaran. Mayoritas model Toyota, Daihatsu, Mitubishi, Suzuki, hingga ke Mercedes-Benz dan BMW sekalipun mengusung pengembangan dari konsep ini. Secara umum disebut sebagai Automatic Transmission atau juga disingkat AT, menandakan penggunaan transmisi otomatis konvensional.
Pada intinya, torque converter jadi perantara putaran mesin dan sambungan ke transmisi. Menggantikan tugas kopling friksi pada transmisi manual dengan pergerakan oli antara dua turbin. Tanpa gesekan pelat secara langsung, aransemen ini tidak akan sampai menahan putaran mesin kala mobil berhenti namun gigi masih di posisi jalan. Baru dari situ, tenaga tersalur ke girboks yang berisi serangkaian gear dan katup-katup untuk melakukan perpindahan gigi.
Berkat aransemen seperti tadi, ketimbang transmisi manual, jelas jauh lebih simple untuk dikemudikan. Lazimnya ada efek merangkak maju pula seketika pedal rem dilepas sehingga tidak perlu geser pijakan saat stop and go. Di samping itu, karakteristik antara raungan mesin dan kecepatan mobil terasa masih terhubung. Akibat desain yang umum, boleh dibilang penanganannya lebih mudah ketimbang transmisi matic lain. Terkenal cukup tangguh dan awet pula.
Kendati begitu, ia bukan kontestan terbaik kalau bicara soal kehalusan perpindahan gigi. Akan ada jeda terasa saat berakselerasi walau bukan paling buruk. Pada beberapa mobil juga ditemukan waktu perpindahan agak kurang pas sehingga performa dirasa kurang greget. Kekurangan lainnya, transmisi otomatis konvensional cenderung lebih berat ketimbang model manual.
Continuously Variable Transmission, Rasio Tak Berbatas
Selain transmisi otomatis konvensional, ada opsi CVT yang cukup banyak disematkan pada model arus utama. Coba lirik jajaran produk Honda dan Nissan. Juga ada di Toyota seperti Raize, Yaris, dan Sienta serta Daihatsu yang perdana mengenalkannya di Rocky. Bahkan bukan itu saja, konon generasi terbaru Daihatsu Xenia/Toyota Avanza serta Mitsubishi Xpander facelift akan beralih ke komponen ini.
Tidak mengherankan bila terpasang di mobil-mobil harian terutama city car sebab keunggulannya adalah dimensi kompak serta bobot ringan. Hal ini dikarenakan CVT tidak memiliki rangkaian roda gigi nan sibuk seperti pada pengantar daya otomatis lain.
Ia memanfaatkan sepasang pulley (satu dari mesin, satu ke arah roda) dan sabuk baja fleksibel sebagai pengganti rasio gigi. Konsepnya kurang lebih seperti motor matic. Jepitan dalam pulley berbentuk kerucut berlawanan dapat melebar atau merapat untuk menentukan kecepatan rotasi sabuk. Dalam arti, diameter dudukan belt dapat melebar atau mengecil tergantung kebutuhan.
Aransemen sabuk dan pulley ini juga tentu punya nilai unggul lain. Fleksibilitas pada rasio transmisi memungkinkan mesin dapat selalu bekerja di titik paling efisien, berapapun kecepatannya. Membuat unit ini dikenal mampu mendorong penghematan bensin. Akselerasi pun cenderung lebih smooth tanpa jeda operan gigi serta gigitan torsi dapat lebih adaptif menyesuaikan medan.
Namun, fleksibilitas ini dapat dirasa kurang menggugah untuk dibawa berkendara. Ritme dari pedal gas dan raungan mesin cenderung terasa tidak dalam satu ketukan yang sama. Mungkin membuat sebagian malah merasa mobilnya boyo. Selain itu, ada batasan kekuatan mesin yang dapat diimbangi oleh CVT serta ketergantungan dengan belt membuatnya kurang tangguh.
Automated Manual Transmission, Solusi Sportscar yang Kini Hadir di Mobil Murah
Solusi otomatis lain dibawa pabrikan dengan menghadirkan Automated Manual Transmission (AMT). Konsep dasarnya memodifikasi transmisi manual sehingga dapat bekerja secara otomatis atau semi-otomatis tanpa kopling saja. Pekerjaan seperti menginjak kopling serta mengoper gigi lantas diambil alih oleh komponen elektronik dan hidrolik.
Dalam sejarah, teknologi ini sempat jadi inovasi di merek-merek premium bahkan eksotis. Sebagai contoh Ferrari, pernah mengenalkan transmisi semi otomatis Valeo di Mondial serta F1 Transmission di F355. Namun kini, dengan adanya Dual-Clutch Transmission (DCT) yang lebih pintar, AMT tidak lagi dipilih merek-merek berkelas.
Bukan berarti punah, beberapa produsen sajikan opsi ini sebagai alternatif matic dengan biaya rendah. Di Indonesia contohnya sistem Suzuki AGS (Automatic Gear Shift) pada Ignis dan Karimun. Renault juga boyong sistem serupa di Triber dan Kwid Climber.
Ya, sistem seperti ini jelas bisa menyuguhkan kenikmatan berkendara dua pedal. Dibanding AT konvensional, ia lebih hemat biaya serta berdimensi lebih kompak. Kendati begitu, kenyamanannya cenderung moderat sebab perpindahan antara gigi lambat dan kurang responsif. Seakan banyak menghela nafas seperti pada sistem otomatis mobil tua.
Dual-Clutch Transmission, Transmisi Canggih yang Kompleks
Dual-Clutch Transmission (DCT) boleh dibilang merupakan salah satu girboks otomatis paling canggih dan kompleks untuk saat ini. Banyak diaplikasikan pabrikan untuk model-model performa tinggi lantaran karakteristik perpindahan minim delay. Membuat pengataran tenaga terasa seamless namun sekaligus tetap cekatan.
Hal ini dikarenakan konsepnya yang serupa transmisi manual atau AMT: memanfaatkan sambungan kopling friksi. Tapi setelah itu semuanya berbeda sebab DCT memiliki dua kopling untuk dua set gigi berbeda. Satu untuk ganjil sementara satu untuk set genap. Lewat cara ini, komputer mampu menyiapkan gigi selanjutnya lebih dulu untuk dipilih.
Akselerasi dapat dimaksimalkan sebab minim kehilangan momentum saat oper gigi. Cocok untuk sportscar. Untuk mobil harian sendiri hal ini mendukung kenyamanan lantaran transisi tidak akan terasa berjeda.
Namun walau gesit, akselerasi awal DCT akan terasa sedikit kasar dan seakan tergesa-gesa. Di samping itu, kompleksitas membuat biaya perbaikan begitu tinggi serta bobot komponen jauh lebih berat. Tidak lazim ditemukan di pasaran, akan sedikit merepotkan pula bila terjadi masalah.
Umumnya DCT bisa ditemukan pada mobil-mobil kelas atas. Sebut saja sebagian besar VW, model entry level Mercedes-Benz hingga bermacam jenis sports car performa tinggi. Tapi bukan itu saja, setidaknya ia telah menemukan jalan ke segmen yang lebih membumi. Kalau di Indonesia, dapat kalian nikmati di Kia Seltos dan MG HS.