Kecelakaan lalu lintas yang kerap terjadi di Indonesia ternyata faktor paling utama disebabkan oleh manusia. Hal ini diakui Asean NCAP Technical Committee, Adrianto Sugiarto Wiyono saat acara Vehicle Safety Course 2023/006 di Politeknik APP, Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Menurut Rian, berdasarkan data yang dia miliki, kecelakaan yang disebabkan manusia mencapai 60 persen, sedangkan untuk kendaraan hanya 5 persen dan lingkungan 3 persen. Sedangkan 32 persen lainnya, merupakan faktor antara manusia dengan kendaraan, atau kendaraan dengan lingkungan, atau bisa juga karena manusia, kendaraan, serta lingkungan.
Baca juga: Waduh Pertumbuhan Kendaraan Bikin Angka Kecelakaan Jalan Makin Tinggi, Korban Meninggalnya Usia Produktif
"Bicara faktor manusia, bukan berarti menyalahkan manusia. Tapi manusia punya keterbatasan," ungkap Rian. Dia juga mengatakan, alasan manusia menjadi penyebab utama kecelakaan, hal itu tak lepas dari berbagai pengaruh, seperti kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan (kondisi geografis), hingga suku dan bahasa yang beraneka ragam.
"Dampaknya kita punya perbedaan budaya, kita punya cara pendekatan berbeda, dan kita juga punya akses yang berbeda dalam mensosialisasikan keselamatan berkendara," jelas Rian.
Baca juga: Ngeri, Cipali Jadi Jalan Tol dengan Kasus Kecelakaan Paling Tinggi di Dunia
Kecelakaan Lalu Lintas Bisa Karena Kondisi Geografis
Rian menyadari, bahwasanya Indonesia memiliki lebih dari 13 ribu pulau dari Sabang sampai Merauke, dan hal tersebut bisa saja membuat masyarakat Indonesia di beberapa wilayah tidak serta merta memahami cara berkendara yang aman. Termasuk dalam mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM).
"Contoh, tahun 2009, saya tinggal di Pulau Buru di Maluku. Jadi waktu itu kalau mau bikin SIM harus pergi ke Pulau Seram, Ambon, yang jaraknya 8 jam menggunakan kapal. Kalau ombak tinggi malah bisa 24 jam, dan kalau pakai pesawat hanya ada pada hari Rabu, dan itu bisa jadi masalah. Belum lagi saat melalui jalan darat waktunya kurang lebih 5-10 jam. Nah, itu hanya bikin SIM saja," kenangnya.
"Lain halnya dengan di Jabodetabek yang sudah ada aplikasi. Makanya di Indonesia ada tantangan tersendiri dalam road safety. Kita belajar saja kesulitan, bagaimana mau belajar safety, bagaimana ngegas benar, karena tidak semuanya punya akses yang cukup," lanjut Rian.
Padahal, seperti diketahui memiliki SIM merupakan syarat wajib ketika berkendara mobil dan motor di jalan raya. Setidaknya pemilik kendaraan bisa turut mengetahui tata cara dan aturan berkendara di jalan raya dengan baik dan benar.
Baca juga: Miris, Setiap Hari 70 Orang Tewas Akibat Kecelakaan Lalu Lintas di Jalanan Indonesia
Perbedaan Suku dan Bahasa Juga Berpengaruh
Seperti disebutkan di atas, selain kondisi geografis, perbedaan suku dan bahasa juga bisa berpengaruh dalam mensosialisasikan keselamatan berkendara. Kata Rian, dengan perbedaan suku dan bahasa, maka untuk melakukan pendekatan soal road safety juga akan berbeda di setiap wilayah.
"Kita kalau di Jabodetabek, tahu beda jarak aman yaitu 3 detik (menghitung seperti detak jarum jam). Tapi kalau digunakan di Ambon, jadi lebih cepat karena aksennya 1,2,3 (kebiasaan menghitung cepat secara lisan)," ujar Rian.
"Hal seperti ini yang harus kita sadari, yang membedakan ini dan membutuhkan pendekatan berbeda. Berbicara dengan kawan yang jauh bagaimana? Berbicara Bugis Makasar bagaimana? Semua ada cara masing-masing, ada yang komunikasi lewat warung kopi, dan lainnya," tutup Rian.