Rumor tentang pajak mobil baru sebesar 0 persen dengan tujuan akan menekan harga jual mobil baru. Tentu akan berakibat pada bisnis mobil bekas yang memiliki perputaran uang cukup tinggi.
Wacana akan relaksasi ini, tentu bertujuan untuk mendorong industri otomotif yang tahun ini terpukul akibat Pandemi Covid-19. Memang sesuai data dari Gaikindo yang menunjukan penjualan di bulan Juni – Agustus mulai membaik tetapi masih terlalu jauh dibanding tahun sebelumnya.
Namun pastinya, akan ada yang terkena dampak besar jika usulan relaksasi disetujui yang merupakan usulan dari Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita yang mengusulkan merelaksasi pajak pembelian mobil baru menjadi nol persen.
Pasar mobil bekas dipastikan terkena dampak besar. Cukup berbahaya bagi bisnis mobil bekas yang memiliki perputaran cukup besar.
Sangat mungkin terjadi bila calon konsumen mobil bekas akan memilih mobil baru karena harga beli yang tidak terlalu berbeda jauh.
Harga Mobil Baru Hanya 60%
Usulan merelaksasi pajak pembelian mobil baru, sebenarnya pernah diungkapkan oleh Bob Azam - Direktur Administrasi, Korporasi & Hubungan Eksternal PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Bob Azam mengatakan bahwa industri otomotif membutuhkan stimulus dari pemerintah.
Jika pajak mobil baru di Indonesia menjadi 0 persen, maka sebanyak 40% biaya mobil baru yang mungkin meliputi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan barang Mewah (PPbM), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan bermotor akan dihilangkan. Memang belum ada kepastian, bagian dari pajak yang akan dipangkas demi men-stimulus penjualan di industry otomotif Indonesia.
Dengan pemotongan sebanyak 40%, maka calon konsumen pemilik kendaraan baru hanya membayarkan 60% dari harga sebelumnya.
Usulan relaksasi ini masih akan dibahas oleh Kementrian Keuangan (KemenKeu) yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati. Melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, masih melakukan perhitungan atas dampak kebijakan tersebut terlebih dahulu.
Dengan banyak pertimbangan dari berbagai sektor, tentunya pemerintah Indonesia harus dapat mengambil keputusan yang tidak hanya menguntungkan sebagian pihak.
Terlebih lagi, wacana dari relaksasi ini hanya akan diberlakukan selama tiga bulan ke depan atau berakhir pada bulan Desember 2020. Dengan waktu yang tersisa, maka kebijakan dari relaksasi ini harus diberlakukan mulai bulan Oktober.