Pemerhati Transportasi dan Hukum, Budiyanto menyatakan untuk menekan polusi di Indonesia relatif sulit. Menurut dia, berdasarkan data yang dihimpun, penyumbang terbesar polusi udara adalah emisi gas buang dari kendaraan bermotor yang kurang lebih mencapai 47 persen, dan sisanya dari sumber lain.
"Perkembangan populasi kendaraan di Indonesia cukup tinggi kisaran 190 juta lebih," ungkap Budiyanto kepada AutoFun dalam pesan tertulis. Belum lagi, Budiyanto mempertanyakan kualitas bahan bakar yang banyak di konsumsi masyarakat di Indonesia cenderung memiliki kadar sulfur sangat tinggi.
Baca juga: Pertamina Punya BBM Diesel Baru Rendah Sulfur, Mulai Dijual September 2024
"Sebut saja Sebut saja Pertalite kadar sulfurnya kurang lebih 500 ppm, Pertamax 92 kadar sulfurnya 400 ppm, dan termasuk BBM fosil lainnya. Padahal standar BBM Euro IV adalah 50 ppm," jelas Budiyanto.
Kata Budi, dengan kadar sulfur yang sangat tinggi, tentunya bisa menghasilkan emisi yang juga tinggi, sehingga hal tersebut bisa mengganggu lingkungan dan Kesehatan.
"Wajar apabila Jakarta pernah termasuk kota yang kadar polusinya paling tinggi. Jumlah kendaraan yang besar dan ditambah prasarana jalan yang belum mampu mengimbangi secara paralel berisiko pada tingkat polusi yang tinggi," ujarnya.
Baca juga: Pertamax Termasuk BBM Kotor Karena Tinggi Sulfur, Ini Efeknya Buat Mesin
Jika bicara soal BBM berkualitas dengan kadar sulfur lebih rendah, sejatinya beberapa distributor sudah memilikinya, seperti Pertamina mempunyai Pertama Green, Pertamax Turbo dan Pertadex 53 (diesel) dengan standar kadar sulfur 50 ppm.
Hanya saja, BBM dengan kualitas lebih baik tidak tersebar secara merata, karena masih terbatas lantaran dijual di kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya.
"Kedepan Pertamina sebagai perusahaan pemerintah harus mampu memproduksi BBM fosil dengan rendah kadar sulfurnya, serta biaya penyediaan dan produksi memang besar tapi harus bisa," ucapnya.
Baca juga: Daftar Harga BBM Per 1 September 2024, Kompak Turun Semua!
Kendati demikian, Budiyanto berharap agar BBM yang berkualitas tidak dibebani kepada rakyat dengan harga tinggi. Selain itu, transportasi dengan menggunakan bahan bakar fosil dengan kadar sulfur rendah diharapkan bisa lebih banyak, sehingga terwujud transportasi yang ramah lingkungan.
"Kita menyadari bahwa memproduksi BBM fosil dengan kadar sulfur rendah perlu pengolahan dan biaya yang relatif tinggi. Namun demi kelanjutan pembangunan SDM dan lingkungan yang ramah serta bersahabat, jangan dilihat dari hitung-hitungan biaya yang besar, tapi lebih pada menciptakan lingkungan yang bersih demi masa depan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia," tutup Budiyanto.