Seperti kita ketahui bersama, nikel merupakan elemen kunci dalam baterai litium. Indonesia merupakan produsen dan eksportir nikel terbesar di dunia, namun belum memiliki rantai pasok pengolahan nikel yang lengkap. Namun patut disayangkan, industri mobil listrik di Indonesia ini masih kalah maju dari negara tetangga.
Sejauh ini, baru Hyundai saja yang serius membangun ekosistem mobil listrik di Indonesia. Merek asal Korea Selatan ini meluncurkan Hyundai Ioniq dan Hyundai Kona versi elektrik. Keduanya bahkan menjadi mobil pure electric termurah di Indonesia.
Untuk menjadi basis produksi global mobil baterai lithium, pemerintah berusaha mengembangkan industrinya sendiri. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mulai membatasi ekspor nikel. Dalam konteks ini, produsen baterai lithium hanya bisa masuk ke Indonesia untuk berinvestasi mendirikan pabrik.
Baru-baru ini, Wakil Menteri Kelautan dan Investasi di Indonesia Septian Hario Seto sebagaimana dikutip Reuters menyebut bahwa perusahaan China Contemporary Amperex Technology (CATL) akan menginvestasikan $ 5,0 miliar di Indonesia untuk membangun pabrik baterai lithium. Pabrik tersebut diharapkan resmi beroperasi pada 2024.
CATL telah menandatangani perjanjian dengan PT Aneka Tambang yang mewajibkan CATL untuk memastikan 60 persen nikel akan diproses menjadi baterai di Indonesia.
“Kami tidak ingin mereka mendapatkan nikel kami tapi kemudian memprosesnya di luar negeri,"kata Wakil Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto.
Presiden Jokowi Turun Tangan Lobi Perusahaan yang Bangun Pabrik Baterai Mobil Listrik
Selain dengan konsorsium CATL, saat ini anggota holding baterai BUMN juga sedang menjajaki kerjasama dengan LG Chem Ltd dari Korea Selatan. Selain itu, pemerintah Indonesia juga sedang mendekati produsen baterai dan mobil listrik terkemuka asal Amerika Serikat, Tesla Motors.
Bahkan, keseriusan pemerintah Indonesia untuk mendorong industri pendukung mobil listrik ini membuat presiden juga harus turun tangan. Pekan lalu, Presiden Joko Widodo bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengadakan video conference dengan Elon Musk.
Presiden Jokowi menyampaikan langsung kepada bos besar Tesla Motors ini bahwa Indonesia ingin mengundangnya untuk berinvestasi. Ajakan Presiden ini, mendapatkan sambutan baik dari Musk dan dalam beberapa waktu ke depan Indonesia akan melakukan diskusi dengan tim teknis Tesla.
Indonesia kini harus bersaing dengan Thailand dan India dalam menggaet Tesla. Lobi tingkat tinggi ini sebagai langkah proaktif dalam mendekati calon investor supaya tidak berpaling ke negara lain.
Indonesia memiliki cadangan nikel yang besar. Dengan adanya kekuatan sumber daya ini, diyakini Indonesia akan berhasil terpilih menjadi negara yang akan menerima investasi dari produsen mobil listrik kelas dunia tersebut.
Selain besarnya cadangan nikel yang bisa menjadi daya tawar Indonesia, masalah birokrasi dan kecepatan implementasi akan menjadi kunci.
Cadangan Nikel di Indonesia Terbesar di Dunia
Indonesia menjadi produsen bijih nikel terbesar di dunia sepanjang tahun lalu. Data Badan Geologi menyebutkan bahwa pada tahun 2019 lalu, total produksi nikel dunia mencapai 2.668.000 ton Ni. Dari jumlah itu, sebanyak 800.000 ton Ni berasal dari Indonesia.
Sumber daya dan cadangan nikel yang dimiliki Indonesia masih cukup tinggi. Hingga Juli 2020, total neraca sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 11,88 miliar ton. Kemudian total sumber daya logam nikel sebesar 174 juta ton.
Pabrik Baterai Mobil Listrik Cuma Untungkan Negara Luar?
Hingga saat ini, industri mobil listrik di Indonesia ini masih belum maju. Mobil listrik masih menjadi barang mewah yang harganya lebih mahal daripada mobil konvensional. Kendaraan ramah lingkungan hanya menjadi konsumsi segelintir orang saja.
Patut disayangkan, karena baru Hyundai saja yang menunjukkan keseriusannya dengan meluncurkan dua model mobil listrik. Itu pun harganya sudah di atas setengah miliar rupiah. Pembatasan ekspor nikel mentah ke luar negeri ini nyatanya belum memberi banyak manfaat positif di masyarakat.
Industrialisasi nikel yang diolah menjadi baterai mobil listrik ini tampaknya cuma menguntungkan negara luar. Memang, kita mengekspor barang berupa baterai namun hal ini tidak banyak membantu Industrialisasi mobil listrik secara lokal. Pengisian baterai mobil listrik masih cukup lama dan lokasinya hanya tersebar di kota besar.
Kesimpulan
Proses industrialisasi mobil listrik semestinya bisa membantu proses elektrifikasi kendaraan di Indonesia. Namun, mobil listrik masih jadi barang mewah yang cuma dinikmati segelintir orang. Wacana membangun eksosistem kendaraan ramah lingkungan sulit terealisasi.
Industri baterai yang ada cenderung menguntungkan negara asal perusahaan tersebut. Pemerintah semestinya juga proaktif mengajak produsen mobil listrik supaya bisa membangun ekosistem kendaraan ramah lingkungan di dalam negeri. Dengan begini, peralihan mobil konvensional ke mobil listrik bisa semakin lancar.