Walau Laris Dipakai Daihatsu Ayla Hingga Toyota Alphard, Ini Alasan Transmisi CVT Kalah Perkasa dari Matic Konvensional
Yongki Sanjaya · 3 Jan, 2024 12:04
0
0
Berikut ini adalah penjelasan mengenai perbedaan transmisi CVT dan matic konvensional yang ada di sebuah mobil.
Kedua jenis transmisi ini memang sama-sama tidak membutuhkan pedal kopling seperti halnya pada gearbox manual, namun ada beberapa diferensiasi antara transmisi CVT dan matic konvensional.
Apalagi rata-rata produsen kendaraan kini mengadopsi layout FWD (Front Wheel Drive) alias sistem penggerak roda depan untuk lini mobil yang mengedepankan faktor harga murah dan kenyamanan lebih baik.
Tak heran mulai dari city car di segmen LCGC, SUV, sampai dengan MPV premium menggunakan struktur penggerak pada poros kedua roda bagian depan kendaraan tersebut.
Menariknya lagi, dengan memakai platform yang terbarukan, sistem FWD ini lantas dikombinasi dengan transmisi matic model CVT (Continuously Variable Transmission).
Kerap disebut transmisi tanpa pindah, hal ini menunjukkan jika sistem kerja gearbox CVT dapat berubah rasio gigi secara lebih mulus dan konstan, meskipun bisa menghasilkan kecepatan yang bervariasi.
Berbeda dengan transmisi matic konvensional yang menggunakan panetary gear, desain transmisi CVT yang mengandalkan sepasang puli (driven pulley) serta sabuk untuk menggerakkannya, diklaim bisa menghasilkan efisiensi bahan bakar sampai 88% tergantung jenis kendaraan.
Tiap puli pada transmisi CVT bekerja dengan didorong oleh sistem pompa fluida, kondisi tersebut juga pada akhirnya membuat beban kerja mesin jauh lebih ringan dari matik AT biasa.
Karena kelebihan tersebut, transmisi CVT diklaim punya sensasi perpindahan level kecepatan yang lebih halus dan nyaman.
Namun ternyata, dibalik kelebihannya, ada kekurangan transmisi CVT, apalagi jika dikombinasikan dengan sistem penggerak roda depan, terutama untuk masalah durabilitas.
Layout FWD ini punya kelemahan desain, yaitu karena layoutnya menyamping.
Layout menyamping ini punya banyak sekali batasan ruang kompartemen mesin.
Lihat koleksi mobil bekas berkualitas yang ada di CARSOME. Mobilnya dijamin bebas banjir dan kerusakan akibat kecelakaan, ga hanya itu mobil juga sudah dilengkapi garansi selama 1 tahun dan jaminan 5 hari uang kembali jika tidak puas.
Semakin besar ukuran mesin dan transmisi, maka semakin lebar jadinya kendaraan tersebut.
Konsekuensi lain yaitu berkurangnya kabin penumpang untuk mengakomodir mesin yang bergeser ke depan atau belakang karena area as roda depan berfokus pada besarnya transmisi.
Beda halnya dengan mobil RWD, mesinnya semakin besar maka solusinya ya kap mesin semakin panjang.
Apabila transmisi semakin besar, produsen tidak ambil pusing karena lokasinya tersembunyi dibawah konsol tengah bodi.
Limitasi ruang ini yang menyebabkan produsen kendaraan FWD mentok di transmisi 4AT untuk mobil-mobil LMPV dan LCGC.
Apabila ingin meningkatkan transmisi ke 5AT atau 6AT, berarti harus mengubah layout, entah mobilnya jadi lebar, atau kap mesinnya jadi panjang.
Jadi untuk solusi supaya mobil irit, bisa diproduksi dengan harga murah, dan muat ke mobil-mobil FWD ringkas, ialah CVT jawabannya.
Apa masalah yang paling banyak terjadi di transmisi CVT dan matic konvensional?
Mengapa banyak yang kurang menyukai tipe transmisi ini? Berikut ulasannya.
Matic Konvensional, Durabilitas Panjang Walau Sedikit Boros
Sebelum lebih dalam membahas soal durabilitas transmisi CVT dan matic konvensional, terlebih dahulu kita perlu mengenal karakter transmisi matic konvensional.
Banyak pabrikan yang meninggalkan matik konvensional karena alasan efisiensi, terlebih transmisi 4AT itu tidak irit soal konsumsi BBM.
Padahal meskipun kurang efisien soal BBM, tapi durabilitas matic konvensional telah lama teruji.
Dalam matic konvensional, ada dua plat kopling yang diatur oleh solenoid, sebut saja kopling 1 dan kopling 2.
Kombinasi 2 solenoid ini yang menyebabkan ada pergantian gigi dari 1 sampai 4 atau 5.
Kopling 1 dan 2 bergantian memindahkan bebannya, sesekali kopling 1 yang kerja, nanti berikutnya kopling 2 yang kerja.
Matic konvensional biasanya punya masalah kecil seperti delay transmisi atau jeduk.
Kondisi tersebut biasanya dari oli transmisi yang kotor, sensor, solenoid atau seal-seal karet yang perlu ganti.
Dalam sejarahnya, jenis transmisi 4AT itu bisa dibilang transmisi yang masa hidupnya cukup panjang.
Kita masih bisa dengan mudah menjumpai mobil era 80-an dengan transmisi matic kondisinya masih cukup oke dikendarai.
Transmisi 4AT itu transmisi yang seharusnya sudah dikuasai setiap manufakturer macam Aisin atau Jatco.
Jadi produsen seharusnya bisa membuat transmisi 4AT yang bagus karena sudah ada dari dahulu (trial error).
Karena rasio gigi yang sedikit, lantas membuat konsumsi BBM cenderung boros karena memaksa mesin bekerja di putaran lebih tinggi.
Namun soal boros itu masalah 5 menit di pom bensin dan soal habit berkendara, yang lebih bisa dikontrol ketimbang usia transmisi.
Jika tidak melanjutkan pemakaian 4AT, artinya cuman dua, produsennya enggan research lebih lanjut atau beralih ke CVT untuk mencari keuntungan dari segi produksi.
CVT memang lebih modern, tapi pernahkah kalian sadari bila gearbox yang selalu digunakan untuk mobil performa tinggi biasanya berkutat antara transmisi konvensional AT (6–9 speed) atau DCT.
Bahkan sedan-sedan premium Eropa pun kini hadir dengan matic konvensional 9-percepatan, dimana kenyamanan berkendara dari sebuah mobil sedan sudah terbukti.
Jarang ada mobil sport yang CVT, kecuali orientasinya memproduksi mobil yang irit atau nyaman dengan mengorbankan aspek performa.
Beberapa pengemudi merasa bahwa kinerja CVT memberikan pengalaman mengemudi yang kurang memuaskan.
Ini karena hilangnya sensasi perpindahan gigi yang terasa seperti pada transmisi otomatis konvensional. Belum lagi terdapat jeda kecil yang disebut "delay" saat kendaraan berakselerasi.
Itulah mengapa transmisi CVT jamak digunakan pada mobil menengah bawah.
Karena transmisi ini fokus pada harga yang murah, konsumsi BBM yang efisien namun tidak mengejar performa.
Pada transmisi CVT, sabuk dan pulley ini bekerja terus.
Mau pada simulasi gigi berapapun, sabuk dan pulley ini terus berputar karena pada dasarnya CVT tidak memiliki gigi.
Ini membuat keausan pada pulley transmisi CVT akan selalu lebih besar dari transmisi matic konvensional.
CVT dapat rentan terhadap panas yang tinggi, terutama saat digunakan dalam kondisi berat atau saat menarik beban.
Panas berlebih dapat menyebabkan keausan dan kerusakan pada komponen CVT.
Karena cara kerjanya sangat sederhana, begitu terjadi kegagalan biasanya langsung fatal yaitu belt baja putus.
Situasinya mirip rantai motor waktu putus.
Bila sudah begini, biaya perbaikan bakal sangat mahal karena minimal harus ganti sabuk baja, bahkan bisa saja ganti salah satu pulley yang ausnya cukup parah.
Beli mobil bekas yang bikin hati tenang? Pasti CARSOME
Muncul selentingan bila produsen kendaraan seolah tidak peduli risiko seperti ini.
Pabrikan cenderung berfokus supaya mobilnya irit, dan bisa dijual harga murah karena pajaknya turun, sehingga konsumen senang.
Kalau nantinya CVT rusak, biasanya yang nanggung pasti konsumen.
Banyak orang yang tak menyukai transmisi CVT dan matic konvensional karena berbagai alasan.
Mulai dari perbedaan rasa berkendara bagi pengemudi, juga reliabilitas yang jelek dari sisi pandang mekanik.
Kalangan mekanik cenderung akan lebih memilih punya mobil 4AT dibandingkan CVT, sebaliknya, produsen mobil lebih menyukai membuat kendaraan dengan transmisi CVT.
Jika ada kerusakan, biaya perbaikan transmisi CVT jauh lebih mahal ketimbang AT biasa, sementara transmiai matik konvensional dianggap lebih badak sehingga minim perawatan.
Tapi pasti, suatu saat nanti ada masanya dimana harga part CVT jadi murah, karena konstruksinya juga sederhana.
Namun itu masih entah kapan, yang pasti bukan hari ini.
Berpengalaman di beberapa media online. Bermula menjadi reporter otomotif di situs yang lain hingga kini menjadi Editor di Autofun Indonesia. Penghobi mobil lawas dan anak 90-an banget.
FB:Yongki Sanjaya Putra