Aksi komunitas motor yang membantu pengawalan ambulans kerap menuai pro dan kontra. Di satu sisi dibutuhkan agar ambulans bisa lebih cepat sampai, karena dapat bantuan pembukaan jalan.
Tapi pada saat yang sama aksi mereka kadang dicap arogan, karena bukan anggota kepolisian yang memiliki wewenang, mengawal kendaraan darurat seperti ambulans, serta hak untuk merekayasa lalu lintas dengan pembukaan jalan.
Baca Juga: Disiapkan khusus untuk melawan Covid-19,DFSK Resmi Luncurkan tiga varian mobil Ambulance
Kemungkinan terburuknya tidak semua pengguna jalan menerima perlakuan dari pemotor tersebut berupa membunyikan klakson atau menggerakkan tangan agar menepi. Apabila emosi sudah memuncak, tak menutup kemungkinan terjadi konflik bahkan kekerasan fisik.
Menanggapi itu, Senior Instructor Jakarta Defensive Driving Consultant (JDDC) Jusri Pulubuhu menyarankan sebagai pengendara yang bijak, semua pengguna jalan harus tetap mematuhi aturan yang berlaku. Utamanya ketika ada kendaraan yang memiliki hak utama di jalan hendak melintas, segera berikan jalan.
"Siapa pun pengguna jalan harus bisa memiliki empati dan kesadaran berlalu lintas, itu perlu. Ada kendaraan darurat seperti ambulans yang ditandai dengan isyarat lampu dan sirine ya segera tepikan kendaraan sejenak," ujarnya.
Tambah Jusri, menepikan kendaraan sebagai bentuk menghormati rombongan ambulans yang melintas. Kemudian tanamkan pemahaman bahwa yang dilakukan para pemotor yang jadi pengawal, merupakan aksi kemanusiaan, sehingga tak mudah terpancing emosi.
Justru apabila mengabaikan kendaraan yang memiliki hak diprioritaskan, hingga menghalang-halangi jalannya, malah bisa dikenakan sanski hukum berupa Rp 250 ribu atau kurungan penjara satu bulan.
Lagi pula waktu melintasnya juga sesaat dan tidak memakan waktu yang lama sampai mengganggu kenyamanan. Itu pun jika kondisinya semua pengguna jalan tertib. Begitu tahu dan sadar di belakang atau di depannya ada kendaraan darurat hendak melintas langsung memberikan jalan.
"Mereka yang membuka jalan itu perlu diacungi jempol, namun sebenarnya tidak perlu dilakukan karena membahayakan diri sendiri, apalagi tidak dilindungi Undang-Undang serta tak memiliki legalitas," sambung Jusri.
Selain soal legitimasi, Jusri berpandangan bahwa aksi mengawal kendaraan tadi cukup berbahaya dan cenderung mempertaruhkan keselamatan sendiri. Makanya setiap yang melakukannya, dalam hal ini anggota kepolisian harus terlatih, kemudian mengenakan perlengkapan berkendara yang lengkap.
Baca Juga: Ini Sanksi Jika Halangi Ambulance dan Pemadam Kebakaran di Jalan. Jangan Sepelekan!
"Polisi saja kadang tidak dianggap apalagi mereka (pemotor yang mengawal). Kalau tidak terlatih maka keselamatan sendiri taruhannya, bisa saja manuver membuka jalan mengakibatkan kecelakaan atau tindak kekerasan dari pengguna jalan yang tidak terima," katanya.
Urusan pengawalan dan pengamanan di jalan sebenarnya telah diatur dalam Pasal 200 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kepolisian RI bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara keamanan lalu lintas dan angkutan jalan.
Untuk mewujudkannya dilaksanakan kegiatan pengaturan, penjagaan, pengawalan atau patroli. Lebih lanjut pada Pasal 104 petugas kepolisian berhak untuk:
Sedangkan untuk ambulans, mengacu Pasal 134 sudah termasuk dalam pengguna jalan yang memperoleh hak utama yang harus didahulukan. Kendaraan yang mendapat hak utama harus dikawal petugas kepolisian, dan atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru, serta bunyi sirene sebagai penanda. Jadi tanpa pengawalan dari masyarakat pun sudah semestinya ambulans harus diprioritaskan.
Baca Juga: 5 Kebiasaan Bodoh yang Sering Terjadi Saat Berkendara, Pernah Melakukannya?