Bagi Toyota masa depan mobilitas akan menuju netralitas karbon dimana elektrifikasi adalah salah satu cara untuk meraihnya. Meski begitu memutuskan untuk hanya memilih mobil BEV sebagai masa depan mobilitas bukanlah pilihan prioritas Toyota saat ini. Bagi Toyota pendekatan multi-pathway yang diusungnya sejak lama masih menjadi strategi paling tepat.
Baca juga: Toyota FT-Se dan FT-3e Gebrak Japan Mobility Show 2023, Calon GR Series Bermesin Listrik?
Strategi Elektrifikasi Berbeda di Setiap Negara
Strategi multi-pathway ini akan memberikan pilihan sumber penggerak yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Contohnya, BEV bagi penduduk perkotaan dengan rute harian pendek yang dapat diprediksi, HEV (Hybrid EV) atau kendaraan dengan bahan bakar alternatif bagi pengguna mobil di daerah pedesaan, hingga fuel cell hidrogen untuk segmen bisnis dengan kendaraan komersial.
“Dalam perencanaan jangka panjang, kami memperkirakan pada tahun 2030, (penjualan) BEV di Asia akan mencapai sekitar 20 hingga 30%. Beberapa negara mungkin sedikit lebih rendah, beberapa negara mungkin sedikit lebih tinggi. Misalnya Singapura, mungkin cukup tinggi. Thailand mungkin sekitar 20 hingga 25%, namun negara lain mungkin lebih rendah,” ujar Hao Quoc Tien, Deputy CEO Toyota Motor Asia Pacific Pte Ltd.
Menurut Hao, tugas selanjutnya adalah memperhatikan kendaraan non BEV itu agar tujuan mencapai netralitas karbon dapat dicapai. “Tidak ada yang salah dengan BEV, menurut saya teknologi BEV sangat bagus, namun ada keterbatasannya. Tujuan kami untuk mencapai karbon netral adalah Anda dapat berbuat sejauh yang Anda bisa, sebesar yang Anda bisa,” tambahnya.
Saat ini mobil listrik murni atau BEV memang belum menjadi pilihan utama bagi pengguna mobil di negara-negara Asia Tenggara. Meski di beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia mobil-mobil BEV asal China terus meningkat jumlahnya, namun mobil listrik ini hanya dipilih sebagai mobil kedua.
"Saat saya berdiskusi dengan konsumen mobil listrik mereka merupakan kendaraan kedua atau ketiga, bukan yang pertama. Dan ketika ditanya kenapa beli BEV, mereka kebanyakan menjawab karena running cost (yang rendah), karena di megacity, biaya listrik tidak terlalu tinggi," tambah Hao
Lebih lanjut, para pemilik mobil listrik ini juga mempertimbangkan soal jarak tempuh yang terbatas. Sehingga untuk penggunaan di dalam kota mereka tidak akan mempermasalahkan soal jarak tempuhnya.
Baca juga: Wow, Toyota Sudah Buat 300 Juta Mobil di Seluruh Dunia
Mobil Listrik Perlu Infrastruktur dan Insentif
Hao juga menyebutkan, bahwa dalam menentukan apakah konsumen mobil akan memilih mobil listrik sebagai alat transportasinya setidaknya ada tiga hal yang menjadi pertimbangan, yaitu harga, kenyamanan saat mengisi ulang (charging) serta insentif dari pemerintah.
Hao menyebutkan Singapura sebagai salah satu contoh, “Singapura adalah negara yang relatif kecil namun dengan infrastruktur listrik layaknya sebuah mega big city, sehingga harga listriknya murah. Selain itu, pemerintahnya juga memberi pajak yang berat bagi kendaraan ICE, sehingga masyarakat lebih memilih kendaraan listrik atau hybrid,” paparnya.
Jika bicara negara lain seperti Malaysia misalnya, negara ini memiliki target pertambahan penggunaan mobil listrik yang tinggi, jika melihat di Kuala Lumpur (KL) di sekitarnya yang memiliki infrastruktur bagus, maka BEV masih bisa menjadi pilihan. “Namun jika pergi ke luar KL, tiba-tiba Anda mendapat masalah, bukan?” ujar Hao.
Pertumbuhan BEV di negara seperti ini, termasuk Indonesia meskipun tak secara langsung disebutkan oleh Hao, membutuhkan waktu lebih lama, seiring dengan bertambahnya infrastruktur, yang direplikasi dan terus diperluas.
Sementara soal insentif, hal ini sangat bergantung pada pemerintah di masing-masing negara. “Insentif datang dan pergi, ambil contoh di China, saat ini pemerintah tengah memotong insentif untuk BEV,” ujar Hao.
Baca juga: Galeri Mobil Konsep Toyota di Japan Mobility Show 2023, Mulai Rangga Concept hingga Toyota FT-Se
Harga Mobil Listrik Perlu Terjangkau
Hal inilah yang menjadikan solusi multi-pathway Toyota untuk mobilitas menjadi salah satu opsi tepat saat ini. “Kami juga perlu punya solusi untuk 70-80 persen (mobil) lainnya yang bukan BEV, bagaimana kita mengatasinya? Mungkin dalam 10 atau 20 tahun ke depan, persentase BEV akan meningkat, dan menurut saya memang seharusnya demikian,” tambah Hao.
Menurut President & Executive Chief Engineer Toyota Daihatsu Engineering & Manufacturing (TDEM) Yoshiki Konishi strategi multi-pathway Toyota dilakukan agar penggunaan kendaraan elektrifikasi, baik hybrid EV (HEV), plug-in hybrid EV (PHEV), battery electric vehicle (BEV), dan fuel-cell electric vehicle semakin meluas, sehingga netralitas karbon dapat dengan mudah tercapai di masa mendatang.
“Strategi multi-pathway memberikan banyak opsi kendaraan ramah lingkungan untuk mempercepat penggunaannya, sehingga semua orang dapat berkontribusi untuk karbon netral,” ujarnya.
Meski begitu,tantangan terbesar dalam penggunaan kendaraan elektrifikasi saat ini adalah soal harga mobil-mobil elektrifikasi yang terjangkau. “Membangun rantai pasokan lokal adalah langkah pertama untuk mewujudkan BEV yang terjangkau untuk Asia Tenggara,” ujar Konishi
Konishi menyebutkan bahwa TDEM telah mengadakan pertemuan dengan sekitar 250 pemasok, termasuk dari Asia Tenggara, untuk menjalin kerja sama dalam mengembangkan dan membangun komponen kendaraan listrik, termasuk hybrid dan BEV, agar dapat menurunkan harga mobil listrik.
“Semua pemerintah ingin kami berinvestasi di negara mereka,” ujar Hao. “(Namun) untuk mencapai (nilai) operasi yang berkelanjutan, harga (EV) harus terjangkau. Kami membutuhkan volume untuk itu. Bayangkan kalau kita harus membuat EV di negara ini, negara itu, dan setiap negara, (maka) harga komponennya akan menjadi lebih mahal,” jelasnya.
Meski begitu, menurut Hao, Toyota sudah pernah menghadapi hal seperti ini untuk produksi mobil-mobil konvensionalnya, dan secara teori, hal ini juga dapat diaplikasikan pada produksi mobil EV.
“Kami bisa saja melokalisasi produksi setiap komponen. Mungkin Indonesia memproduksi baterai, Thailand dapat membuat motor listriknya. Dan kemudian negara lain akan merakit baterai dan kita bisa sama-sama menikmati EV dengan harga yang murah,” ujar Hao.
Hao juga menambahkan bahwa mereka bisa memanfaatkan adanya perjanjian perdagangan bebas negara-negara ASEAN. Jadi singkatnya, Toyota akan memanfaatkan kekuatan setiap negara untuk memperoleh keuntungan agar dapat mewujudkan kendaraan EV yang terjangkau di ASEAN.
Baca juga: Toyota Gandeng CATL Bikin Baterai Mobil Listrik di Indonesia Pakai Teknologi Baru
Pabrik Baterai EV di Indonesia
Langkah ini rencananya akan diwujudkan oleh Toyota dengan memproduksi baterai mobil listrik mereka di Indonesia. Disebutkan oleh Konishi, bahwa Toyota akan menggandeng Contemporary Amperex Technology Co. Ltd (CATL), yang telah menjadi partner bagi Toyota dalam pengembangan baterai mobil listrik selama ini.
“Kami akan bekerja sama dengan CATL yang sudah bangun industri baterai, dan kami akan suplai tak hanya Toyota tapi juga industri lain,” ujar Konishi. Saat ini CATL adalah salah satu raksasa produsen baterai EV asal China yang berfokus pada manufaktur baterai lithium ion, sistem penyimpanan energi, dan manajemen baterai kendaraan listrik.
“Nantinya pabrik baterai tersebut tidak hanya memenuhi kebutuhan di Indonesia tapi juga di kawasan Asia. Tidak hanya untuk mobil listrik tetapi juga produk lainnya seperti hybrid dan PHEV serta (permintaan) dari China dan Korea termasuk OEM,” tambahnya.
Sementara itu dii kesempatan terpisah dalam pelaksanaan JMS 2023 di Jepang, Bob Azam, Wakil Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) mengatakan rencana Toyota membangun ekosistem industri listrik di Indonesia saat ini masih dalam tahap studi.
"Kalau soal kerja sama (dengan CATL), saya belum bisa sampaikan. Yang pasti, sama semua stakeholder kami akan bangun kerja sama karena elektrifikasi harus kolaborasi. Saat ini masih di tahap studi apa saja yang harus direalisasikan, kelayakan, hingga pasarnya," ujar Bob
Menurutnya, untuk dapat melokalisasi produksi baterai EV, setidaknya diperlukan volume produksi mobil listrik sebanyak 100 ribu unit. Sedangkan saat ini, volume mobil listrik di Indonesia baru di kisaran 20 ribu hingga 30 ribu unit per tahun.
"Kalau pasar diberi insentif, (lokalisasi produksi baterai) bisa lebih cepat, karena harga menjadi terjangkau. Tidak mungkin bisa menekan harga EV tanpa melokalisasi komponen elektrifikasi," tambahnya.
Saat ini, Toyota melalui TMMIN sudah memiliki fasilitas perakitan baterai di Pabrik TMMIN Karawang II, yang dibangun untuk melayani kebutuhan baterai bagi Toyota Yaris Cross (Spesifikasi | Berita) Hybrid dan Innova Zenix Hybrid.
Di Indonesia, dari total 27 ribu kendaraan listrik yang terjual, 70% di antaranya masih merupakan mobil hybrid, dan 29% adalah mobil listrik berbasis baterai alias BEV. Dan Toyota Kijang Innova Zenix merupakan mobil hybrid terlaris di Indonesia saat ini. Mobil listrik terjangkau di Indonesia hanya menunggu waktu.